Oleh : ROSTANDI
(Analis Rehabilitasi dan Konservasi CDK Wil VIII)
(Analis Rehabilitasi dan Konservasi CDK Wil VIII)
Sumber Daya Alam: diantara karakteristik, kepentingan dan tantangan
…………………………
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air mata
…………………dst
(Membaca: karya Taufik Ismail,1982)
Ilustrasi Kerusakan Hutan. Sumber : Pxhere. |
Begitu lugas Taufik Ismail mengekspresikan sumber daya alam sebagai obyek inspirasi. Kesaksian Taufik Ismali tentang rusaknya hutan dan gunung tentu bukanlah cerita fiktif layaknya karya sastrawi lainnya. Tapi boleh jadi ini adalah wujud dari keterwakilan hatinya dalam memfilosofikan kehancuran alam sesungguhnya. Tidak hanya Taufik Ismail, kalangan pekerja seni lainya yang sangat respek terhadap kerusakan alam ini diantaranya adalah Ebiet G Ade (Berita Kepada Kawan) tahun 1978, The Rollies (Kemarau) tahun 1979, si Raja Dangdut H.Rhoma Irama melalui singel hitnya ”Baca” pada tahun 1990-an, serta Iwan Fals (Saat Minggu Masih Pagi) tahun 2004. Mereka hanyalah pelaku-pelaku seni dan budaya, tetapi kepeduliannya terhadap eksistensi sumbedaya alam, mengindikasikan jika tanggungjawab keutuhan alam itu sejatinya sudah menjadi perhatian seluruh komponen bangsa.
Persoalan alam, berkarakter universal. Pada kasus bencana alam seperti banjir atau longsor misalnya, dipastikan berimplikasi buruk terhadap semua akses kehidupan (ekologi, kesehatan, ekonomi, sosial dan pendidikan). Dampak banjir dan longsor tidak hanya menyisakan kerusakan fisik saja, namun secara psikis sosial akan menjadi kompleks ketika semua pihak saling tuding mencari kambing hitam penyebabnya. Bahkan bukan tidak mungkin ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk kepentingan lain, seperti: penggelembungan anggaran bantuan, manipulasi data, sampai kepada penggelapan dana bantuan.
Bemain kepentingan dengan obyek sumberdaya alam memang sangat menggiurkan. Jika dulu, sumberdaya alam dikeruk dalam rangka mengeksploitasi ladang emas hijau dan peningkatkan devisa negara, maka yang terjadi sekarang sumberdaya alam telah menjadi obyek pengkamuflasean aspirasi rakyat demi tujuan pribadi maupun kolektif. Ward Berenshot, salah satu penulis buku Democracy for Sale, memprediksi, harga di daerah yang kaya dengan sumber daya alam dapat mencapai nominal Rp.1 miliar untuk setiap kursi di parlemen. Hmmm...amazing bukan? sulit memang melepaskan aura politisasi dalam hal ini. Modus-modus politik transaksional dengan menggadaikan kekayaan sumber daya alam, lazim dilakukan sebagai langkah instan untuk berkongkalikong antara para pemodal dengan para politisi. Belum lagi dalam kasus alih fungsi lahan, penguasaan lahan dan pengelolaan tambang adalah ranah-ranah yang kerapkali dijadikan sasaran empuk bagi para politisi untuk bermain kepentingan di dalamnya. Potret buram inilah yang menjadi refresentasi buruk dalam era pengelolaan sumber daya alam saat ini.
Oleh karena itu jangan pernah menunggu sampai hari esok untuk berbuat yang terbaik untuk alam dan isinya. Diluar mal-mal praktik yang dilakukanan para poitisi kita, sebetulnya ada tantangan yang lebih mendunia bagi kita dalam menghadapi kehancuran alam di masa datang. Tantangan dimaksud adalah Pemanasan Global. Pemanasan global telah menjadi penyakit kronis, yang setiap saat bisa memutarbalikkan prakiraan ilmiah. Ketidakteraturan pergantian musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (anomali iklim), bencana alam, cuaca tak bersahabat, naiknya permukaan air laut dan mewabahnya berbagai penyakit adalah indikasi dari mulai dirasakannya dampak negatif pemanasan global.
Dampak yang ditimbulkan pemanasan global ini memang sangat luar biasa. Hampir setiap malam kita kehilangan waktu efektif tidur, karena sengatan udara yang sangat panas. Jika siang hari kitapun akan merasakan terik matahari dengan sensasi bara api. Para nelayan urung mengais rizeki karena badai tak kunjung reda, hasil bumi terus membusuk di pelabuhan-palabuhan penyebrangan menunggu cuaca membaik. Sejauh inikah keprihatinan yang kita rasakan? siapa yang harus bertanggungjawab? bagaimana kita memulihkanya?
Mitigasi dan Skema REDD
Kekhawatiran dunia akan dampak pemanasan global (Global Warming) sesungguhnya telah disuarakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Janeiro Brasil pada tahun 1992. Namun entah kenapa sampai pada saat diselenggarakannya KTT Perubahan Ikkim di Bali tahun 2007 lalu, belum ada aksi-aksi nyata yang dilakukan.
Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjelang KTT Perubahan Iklim di Bali dilaksanakan, mawanti-wanti agar negara-negara maju tetap berada di garis depan dalam mengurangi emisi karbon secara signifikan. Sedangkan bagi negara berkembang harus lebih meningkatkan partisipasinya dalam menurunkan emisi sesuai kemampuannya serta melakukan strategi yang inovatif dan maju.
Tanggal 3-14 Desember tahun 2007, negeri kita didaulat untuk menjadi tuan ruman perhelatan tingkat dunia, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim di Nusa Dua Bali. Konferensi tersebut diadakan oleh badan PBB yakni United Nations Framework Convention on Cliamate Change (UNFCCC) yang diikuti oleh ribuan peserta dari 186 negara. Dipilihnya Indonesia, disinyalir karena kepemilikan hutan tropisnya yang sangat luas dan karena kepentingan isunya yang cukup strategis terkait dengan perubahan iklim yang terjadi. Dalam pandangan ini kalangan masyarakat negara maju kerap menjustifikasi jika biang keladi makin memanasnya suhu bumi berasal dari aktifitas penggundulan hutan (deforestasi) di negara-negara berkembang. Klaim negara-negara maju sah-sah saja kita terima, namun bukan berarti kesalahan ditimpakan sepenuhnya kepada negara-negara berkembang. Justru negara-negara industrilah yang sebetulnya sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.
Dari berbagai sumber yang diperoleh penuluis, Amerika Serikat ternyata menyumbang 720 juta ton gas rumah kaca, yang merupakan 25% dari emisi total dunia. Emisi gas rumah kaca dari pusat tenaga pembangkit listrik di Amerika Serikat lebih besar dari pada total jumlah emisi 146 negara (tiga perempat negara di dunia). Empat pengemisi karbondioksida (CO2) terbesar lainnya di dunia adalah Kanada, Jerman, Inggris dan Jepang.
Oleh karenanya, Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Inter- Governmental Panel on Climate Change/IPCC) dalam pertemuan di Valensia Spanyol November 2007 merekomendasikan usulan mengenai upaya mengatasi pemanasan global dengan cara mitigasi (pengurangan) emisi gas rumah kaca yang wajib dilakukan oleh negara-negara industri. Bagi negara-negara berkembang tentu saja jawabannya adalah reboisasi (penghijauan kembali), reforestasi (penghutanan kembali) dan restorasi pada lahan-lahan terdegradasi.
Masih dalam kerangka mitigasi pemanasan global, salah satu agenda penting pada pertemuan di Bali tersebut adalah Skema REDD (Reducing Emision from Deforestation dan Degradation). Konsep REDD diterjemahkan bahwa negara-negara maju/industri membayar kepada negara-negara berkembang agar mencegah penggundulan hutan. Bayaran tersebut sebagai kompensasi negara maju terbebas dari kewajiban mengurangi emisi. Transaksi inilah yang kemudian disebut sebagai perdagangan Carbon. Dalam konteks ini, negara maju terbebas dari kewajiban mengurangi emisi dengan alasan telah mencukupi kewajibannya dari hasil membeli carbon dari negara berkembang.
Bagi negara-negara berkembang tentu tidak menguntungkan, sebab pada kenyataannya negara-negara berkembang menyumbang emisi sangat kecil dibanding negara maju, tapi justru negara berkembanglah yang menderita kerugian akibat dampak buruk perubahan iklim. Skema REDD jelas menunjukkan itikad tidak adil, negara-negara maju hanya beranggapan bahwa mitigasi pemanasan global hanya cukup dilakukan dengan cara menekan emisi di sektor kehutanan. Sementara pencemaran dan emisi sektor industri di negara maju masih tetap dibiarkan.
REDD secara resmi hadir di Indonesia dengan penandatangan Letter of Intent (LoI) tanggal 26 Oktober 2010 dengan Pemerintah Norwegia yang merespon keinginan Indonesia untuk menurunkan gas emisi 20% pada tahun 2020. Pada konten LoI tersebut salah satunya dinyatakan bahwa Kalimantan Tengah terpilih menjadi provinsi percontohan utama REDD di Indonesia.
Kabar terbaru tentang implementasi Skema REDD ini lembaga Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) menjelaskan bahwa dari empat negara : Brazil, Peru, Guyana dan Indonesia, baru Guyana yang mendapatkan empat kali pembayaran dari Norwegia. Sementara Indonesia masih dalam tahap menuju implementasi phase 2.
Opsi konkret yang perlu dilakukan
Kajian tentang pemanasan global tidak dibatasi ruang dan waktu, kajian ini akan terus berlangsung seiring keteraturan dinamika alam yang terjadi ( Never Ending Process). Ekosistem akan terus berjalan sebagaimana siklusnya, tinggal bagaimana upaya kita agar ekosistem tersebut berada dalam kestabilan. Pemerintah sejauh ini, telah meresponnya melalui gerakan nasional yang kemudian disebut Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Pemeliharaan Pohon pada tahun 2007. Pada tahun 2008 aksi tersebut dipertegas dengan pencanangan tangal 28 Nopember sebagai Hari Menanam Indonesia dan bulan Desember sebagai Bulan Menanam Nasional. Kemudian pada tahun 2009 gagasan dan pemikiran untuk mengeksiskan gerakan menanam semakin berkembang melalui program Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree).
Kita berharap semua pihak tidak menafsirkan gerakan-gerakan tersebut hanya sebatas sebagai prosesi seremonial menancapkan sebatang bibit tanaman kedalam tanah, namun lebih dari itu harus dimaknai menancapkan harapan ke dalam kehidupan. Karena bagaimanapun pohon kelak akan berandil besar sebagai penyedia Oksigen (O2), penyimpan air, menyerap Karbon dioksida (CO2), mengurangi polusi udara, menurunkan suhu, mengurangi kebisingan dan meningkatkan kualitas lingkungan. Bahkan bukan tidak mungkin keberadaan persekutuan ekosistem pohon dalam jumlah besar dapat dijadikan konsep dasar dan inspirasi penting dalam pembangunan wilayah di segala bidang.
Ke depan, pemerintah bersama masyarakat dan dunia usaha harus makin meneguhkan komitmennya membangun harmonisasi dengan alam. Pada tataran eksternal, upaya-upaya pemerintah RI dalam memperjuangkan keadilan pengendalian perubahan iklim harus semakin diperkuat dan berani dengan tetap mengedepankan kepentingan negara-negara berkembang terutama Indonesia. Pada tataran internal dalam negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sektor terkait lainnya seyogyanya terus mendorong arah kebijakan pembangunan di setiap wilayah kabupaten/kota agar senantiasa bersandarkan pada prioritas pembanguann konservasi sumberdaya hutan dan lingkungan. Implementasi pola sertifikasi ekolabeling pada hutan rakyat adalah salah satu upaya yang mutlak dilakukan. Begitupun rekayasa genetik dan teknik silvikultur untuk mempercepat pertumbuhan pohon, adalah modal berharga untuk meningkatkan upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Bagi sektor industri, sudah sewajibnya menerapkan teknologi ramah lingkungan dan memberlakukan penyediaan ruang terbuka hijau sebagai media pengurangan emisi carbon dan senyawa polutan lainnya.
Bagi pemerintah daerah dan segenap lapisan masyarakat, tumbuhkan sikap gemar menanam sejak dini pada anak-anak di sekitar kita melalui fasilitasi program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), program Pengantin Peduli Lingkungan (Pepeling), program Aparatur Peduli Lingjungan (Apel), Seruan Siswa Peduli Lingkungan (Seruling) atau kurikulum lokal sekolah berbudaya lingkungan. Di kota-kota yang relatif padat kendaraan, mulailah kreatif dengan aksi hari bebas kendaraan bermotor (car free day) dan memperbanyak pembangunan hutan kota.
Menutup tulisan ini, Saya mengajak para sahabat untuk merenungkan terjemahan Al-Qur’an Surat Arrum ayat 41: ” Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
No comments:
Post a Comment