Selamat Datang di Cabang Dinas Kehutanan Wilayah VIII, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat

Total Pageviews

Ngopay...Dulu ! Biar Gak Oleng

Oleh : Rostandi
Analis Rehabilitasi dan Konservasi CDK Wilayah VIII

Saya tidak tahu percis asbabun nuzul kata “Ngopay” itu hadir ditengah penggunaan bahasa keseharian kita. Namun kata “Ngopay” konon lahir sebagai hasil interaksi pergaulan anak-anak muda zaman now. Dari beberapa keterangan penjelasan yang saya dapatkan, kata “Ngopay’ itu kurang lebih dimaknai sebagai ajakan untuk minum kopi bersama, betulkah?
Ilustrasi secangkir kopi. Foto : Pixabay.
Ilustrasi secangkir kopi. Foto : Pixabay.
Jika betul, “Ngopay” sepertinya masih saudara sepupunya “kongkow”, keles!, nongkrong di suatu tempat, berkumpul, ngobrol sambil sesekali meneguk sruput kopi. Nikmat, tapi tidak sebatas nikmat di bibir dan lidah saja, bahkan bisa menjalar memenuhi relung perasaan ruang batin terdalam.

Seperti kata Crysnawati Yuel dkk (Bina Nusantara University), bahwa kopi dapat digolongkan sebagai minuman psikostimultant yang akan menyebabkan orang tetap terjaga, mengurangi kelelahan, dan membuat perasaan menjadi lebih bahagia karena rasa kopi terasa sangat nikmat saat dikonsumsi siapapun. Dengan kopi, terasa mudah berinspirasi untuk beropini, dengan kopi kesegaran jiwa seperti tiada batas untuk berimprovisasi, dengan kopi selalu menyuguhkan keindahan untuk berharmonisasi atau bisa jadi dengan kopi sedikit masalah bisa teratasi.

Jadi kopi itu seperti jalan hidup, sarana untuk berkarsa, berkarya dan bersolusi. Jika anda pernah menonton film bioskop Filosopi Kopi 1 yang dirilis tahun 2015 lalu, dipastikan anda akan memetik makna‐makan kehidupan yang disimbolkan dari sebuah serbuk dan minuman kopi.

“Masa lalu, seperti apapun itu, jadikanlah sebuah alat untuk pembelajaran, agar kedepannya hidup akan berjalan lebih lembut, selembut serbuk kopi” adalah penggalan dialog di film itu dan menurut saya akan selalu menarik untuk dikenang. Chico Jericco dan Rio Dewanto, adalah dua aktor utama yang berperan baik memainkan alur cerita unggahan dari Cerpen karya Dewi Lestari itu.

Popularitas kopi sepertinya tidak akan usang ditelan zaman. Berbagai varian olahan kopi terus berkembang dan bersaing demi memanjakan selera para peminatnya. Belum lagi kehadiran Jungle Coffee Jabarano on The Street ‐ Banceuy Bandung, makin menambah semaraknya dunia perkopian terutama untuk masyarakat Jawa Barat.

Dengan keoriginalan kopi pegunungan yang ada di Jawa Barat, diracik dengan barista petani kopi, hampir dipastikan masyarakat yangmembeli dan menkonsumsi kopi hasil dari binaan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat ini, ketagihan alias “deudeuieun”. Mudah‐mudahan saja, melalui penyediaan outlet kopi ini, akan menjadikan kopi hutan produk petani hutan Jawa Barat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Kegilaan orang terhadap kopi, dituangkan dalam berbagai macam ekspresi. Sahabat saya seringkali mengisi sarapan paginya hanya dengan secangkir kopi pahit pekat dengan campuran air hanya sepertiganya. Ada pula yang melakukan budaya minum kopi ini dalam paket three in one.

Kopi, hisapan rokok dan alunanan musik adalah sinergitas tiga dalam kesatuan. Hanya dengan paket three in one ini, hampir separuh kebutuhan hidupnya katanya sudah tepenuhi. Para penggila kopi bahkan rela jika kantong perutnya tidak perlu diisi nasi, sayur dan lauk pauk, jika di sekitarnya sudah cukup tersedia warung kopi, ruarrrrr biasa permirsahhh.

Kopi memang telah menjadi bagian peradaban sejarah manusia. Menurut sejarah, kopi berasal dari Ethiopia dan di negara inilah pada abad ke‐9, kopi mulai dikembangkan. Namun budidaya kopi dan perdagangannya baru mulai popular pada abad ke‐15 oleh pedagang Arab di Yaman. Kopi mencapai Eropa pada abad ke‐17 namun sayang perkembangan pertumbuhannya kurang baik. Untuk mengatasi persoalan ini, bangsa‐bangsa Eropa kemudian memanfaatkan daerah kolonialnya untuk membudidayakan tanaman kopi. Belanda pada kurun waktu 350 tahun menjajah Indonesia, ternyata sangat berperan penting dalam mengenalkan dan cara budidaya kopi di Indonesia.

Belanda berusaha membudidayakan tanaman kopi di Batavia, tapi gagal karena gempa dan banjir. Kegagalan itu tidak menyurutkan semangat meneer‐meneer kompeni untuk terus meneliti dan mendatangkan bibit‐bibit baru. Bahkan mereka membuka ladang‐ladang baru di Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor, dan pulau‐pulau lainnya. Pada tahun 1700‐an ternyata kopi telah menjadi komoditas andalan VOC.

Penjualan biji kopi dari Hindia Belanda (Indonesia) seketika booming sampai bisa mengekspor ke beberapa negara Eropa. Belanda pun akhirnya memonopoli pasar kopi dunia waktu itu. Salah satu pusat produksi kopi dunia saat itu ada di Pulau Jawa. Secangkir kopi kemudian popular disebut Cup of Java atau secangkir Jawa.

Perkembangan budidaya tanaman kopi di Indonesia mengalami pasang surut. Sebut saja ketika pasca kemerdekaan dan setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, laju usaha budidaya kopi pun sedikit terhambat. Akan tetapi, berkat kerja keras para petani dan nasionalisasi perkebunan eks pemerintahan Hindia Belanda, akhirnya perkebunan kopi lambat laun mulai bangkit dan berkembang.

Memasuki era tahun 2000‐an, kopi Indonesia kembali memasuki trending topic dunia. Melalui upaya budidaya intensif dan kegigihan para pihak, Indonesia akhirnya mampu menempatkan dirinya sebagai negara terbesar keempat penghasil kopi di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia.

Sekedar intermezo, ada dua kisah mitos sebetulnya yang melegenda berkaitan dengan awal dikonsumsinya kopi oleh manusia. Pertama kisah Khaldi bertemu kambing, dan kedua cerita Omar yang bekerja sebagai tabib. Cerita khaldi bermula dari kehidupan Khaldi sebagai penggembala kambing. Suatu hari Khaldi mendapatkan kambingnya melompat‐lompat kegirangan. Setelah diusut dan diamati secara seksama, kambing itu melompat kegirangan setelah makan buah beri merah dari pohon asing di sekitarnya. Khaldi penasaran dengan hal ini, dan mencoba memakan buah beri merah tadi, dan reaksi yang ia rasakan setelah memakan buah itu, Khaldi menjadi bersemangat seperti kambing‐kambing itu.

Khaldi menceritakan apa yang dialaminya kepada petapa. Si petapa kemudian tertarik untuk mencoba buah ajaib itu. Dan benar saja, selepas makan buah itu, sang Petapa pun menjadi “cenghar” sepanjang malam tanpa ada rasa kantuk. Oleh karena buah itu terasa pahit, sang Petapa mulai mengolahnya dengan menyanggrai dan menyeduhnya. Sejak itulah kopi mulai dikenal sebagai minuman yang dapat menambah tenaga dan mengusir rasa kantuk.

Lain lagi dengan kisah Khaldi, kisah Tabib Omar juga tak kalah menarik. Omar hidup sebagai tabib sufi di kota Mocha, Yaman. Nama lengkapnya Ali bin Omar al Shadili. Omar dikenal sebagai tabib yang memadukan tindakan medis dengan tindalan spiritual (do’a). Omar kemudian tumbuh menjadi tabib terkenal tanpa tandingan waktu itu. Sayangnya kepopuleran Omar tidak semua orang menerimanya. Ada saja orang atau pihak yang tidak berkenan akan keberhasilannya. Omar terkena fitnah sampai kemudian diusirnya dari kota Mocha.

Di tempat perasingan, Omar kerap kelaparan, hingga suatu saat ia menemukan buah beri merah yang pahit. Omar kemudian mengolahnya tapi tetap saja rasanya pahit. Ia hanya memanfaatkan cairan dari buah itu, namun tak disangka ternyata berkat cairan itu stamina Omar makin fit. Kepopuleran Omar mulai bangkit kembali, manyarakat yang dulu mengusirnya kini bergantian mendatangi Omar dan memintanya kembali menjadi tabib. Untuk mengobati orang‐orang yang datang kepadanya, Omar pun menggunakan minuman itu untuk obat mujarab. Sejak air saat itu, air tersebut kemudian dikenal dengan air Mocha.

Mungkinkan air mocha itu yang kemudian menjadi cikal bakal keluarnya varian kopi rasa mocca atau moccacinno??? Ya sudahlah…. jangan terlalu dipikirkan, biar gak oleng, ngopay dulu yu……! dimana? ya di Pasar Kopi dan Hasil Hutan Banceuy Bandung atuh…..tepatnya? Depan Pasar Elektronik Cikapundung Brow….!

No comments:

Post a Comment